InfoJembranaNews – Kasus pelecehan atau persetubuhan terhadap anak dibawah umur dan kekerasan seksual terhadap seorang gadis usia 16 tahun yang mengalami disabilitas, bahkan berstatus anak yatim dari Kecamatan Melaya, kabupaten Jembrana, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Negara, Rabu 17 Mei 2023.
Jaksa penuntut umum menghadirkan perkara yang menyoroti perlindungan anak dan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di Melaya. Dalam persidangan, terungkap bahwa perbuatan keji tersebut dilakukan oleh IPN (59) dan GP (57) terhadap seorang gadis berusia 16 tahun yang menderita disabilitas.
Fajar Said, Kepala Seksi Inteligen dan juga Humas Kejaksaan Negeri Jembrana, pada Kamis 18 Mei 2023 membenarkan bahwa kasus persetubuhan terhadap anak dibawah umur ini telah disidangkan. Terdakwa IPN dihadapkan pada ancaman pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Alternatif kedua dakwaan terhadap terdakwa IPN melibatkan Pasal 6 huruf c jo Pasal 4 ayat (2) huruf c jo Pasal 15 ayat (1) huruf g UU RI No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, terdakwa IGP juga dihadapkan pada dakwaan alternatif pertama yang berlaku berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UURI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Alternatif kedua dakwaan terhadap terdakwa IGP melibatkan Pasal 286 KUHP, jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sidang selanjutnya akan menampilkan pemeriksaan saksi-saksi guna mengungkap fakta-fakta lebih lanjut terkait kasus ini. Diberitakan sebelumnya, kedua tersangka diamankan setelah laporan dari paman korban yang mengetahui bahwa korban telah dicabuli. Korban, LPA (16), mengaku telah disetubuhi sebanyak dua kali oleh PN di sebuah kontrat di mana warga menjadikannya kebun. LPA kemudian melakukan tes kehamilan yang hasilnya negatif.
Setelah dilakukan pertemuan antara kedua belah pihak keluarga untuk mencari solusi yang tepat, PN mengakui telah melakukan persetubuhan dengan LPA sebanyak dua kali di tempat tersebut dan meminta maaf agar permasalahan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, setelah rapat keluarga pada malam harinya, diputuskan untuk melaporkan PN ke kantor polisi.
Nama GP juga muncul karena pengakuan dari PN bahwa LPA pernah disetubuhi olehnya sebelumnya. Meskipun awalnya GP mengaku tidak pernah melakukannya, dari pengakuan korban saat di BAP, GP dan PN telah melakukan persetubuhan dengannya masing-masing dua kali. GP sebelumnya merupakan seorang residivis pelaku persetubuhan terhadap anak dibawah umur pada tahun 2014.
Kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih waspada dan menjaga anak-anak dari pelecehan yang merugikan mereka secara fisik dan psikologis. Semua pihak diharapkan dapat mendukung upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak anak dan menindak tegas pelaku kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur. dk/IJN