
InfoJembrana.com | JEMBRANA – Ketegangan antara Banjar Adat Bale Agung dengan panitia penyelenggara Pasar Adat Pergung akhirnya berujung pada mediasi yang difasilitasi oleh Kecamatan Mendoyo, Rabu 3 Desember 2025. Persoalan utama dipicu oleh belum dibayarkannya dana kompensasi kegiatan pasar adat kepada Banjar Bale Agung, yang sebelumnya diklaim telah disepakati.
Kelian Adat Bale Agung, I Kadek Sastrawan, mengungkapkan kekecewaannya melalui media sosial setelah dana kompensasi sebesar Rp5 juta per kegiatan tak kunjung diterima banjarnya. Menurut Sastrawan, kesepakatan tersebut dibuat enam bulan lalu untuk setiap kali Banjar Adat Pergung menggunakan Lapangan Pergung, mengingat Banjar Bale Agung turut berkontribusi dalam menjaga keamanan dan kondusifitas.
“Saya selalu hadir penuh dari pembukaan sampai penutupan, menjaga keamanan lalu lintas dan warga. Setelah kegiatan selesai, kontribusi itu tidak masuk ke banjar kami,” ujar Sastrawan, yang mengaku khawatir disalahpahami warganya. Ia terpaksa mengunggah keluhan ke media sosial setelah empat kali penjajakan kepada panitia tidak membuahkan hasil.
Sastrawan juga menyoroti dampak negatif pasar adat, termasuk kebisingan, kemacetan, dan pencemaran di Pura Beji yang disebutnya digunakan sekitar 80 persen pedagang untuk mandi dan membuang kotoran. “Bukan soal nominalnya, tapi koordinasi dan komitmen. Kalau tidak ada, lebih baik pasar adat itu ditiadakan,” tegasnya.
Di sisi lain, Ketua Panitia Pasar Adat Pergung, I Nengah Ridja, membantah adanya kesepakatan kompensasi senilai Rp5 juta. “Kalau ada kesepakatan, pasti saya penuhi. Tapi saya tidak pernah diajak berbicara soal itu. Jangan sampai keliru, mungkin ada yang tidak menyampaikan kepada saya,” jelas Ridja.
Ridja, yang telah 52 tahun terlibat dalam pengelolaan kegiatan ini, mengklaim bahwa ia pernah memberikan dana sebesar Rp2,5 juta, bukan Rp1 juta seperti yang sempat disebutkan. Ia juga menegaskan bahwa Pasar Adat Pergung yang digelar setiap Galungan dan Kuningan menghasilkan omset ratusan juta rupiah, di mana sekitar Rp200 juta masuk ke Desa Adat Pergung dan sebagian dibagikan untuk desa penyanding. Ridja berkomitmen untuk berhubungan langsung dengan kelian adat ke depannya.
Sementara itu, Camat Mendoyo, I Putu Nova Noviana, yang memimpin mediasi, menyimpulkan bahwa persoalan ini murni akibat miskomunikasi antara panitia, Kelian Adat Pergung, dan Kelian Adat Bale Agung.
“Pasar Adat Pergung memanfaatkan aset kecamatan dan berada dekat dengan Desa Adat Tegalcangkring sebagai penyanding. Maka hasil kegiatan juga seharusnya berkontribusi sebagai pendapatan desa adat,” jelas Camat Nova.
Mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan awal antara Desa Adat Pergung dan Desa Adat Tegalcangkring untuk memperbaiki komunikasi di masa depan serta memastikan mekanisme kompensasi yang disetujui bersama sebelum kegiatan pasar adat kembali digelar. CAK/IJN

