
InfoJembrana.com | JEMBRANA – Sidang kasus dugaan pencemaran nama baik seorang pengusaha oleh oknum wartawan di Jembrana, I Putu Sudardana, memanas pada Kamis 13 November 2025. Kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi fakta yang blak-blakan menyebut rekomendasi Dewan Pers “bodong”, serta seorang ahli yang ternyata tidak berlisensi.
Saksi fakta yang dihadirkan, I Ketut Widia, langsung menyita perhatian majelis hakim dan peserta sidang. Saat dicecar oleh kuasa hukum terdakwa mengenai rekomendasi Dewan Pers terkait berita yang menjadi sengketa, Widia memberikan jawaban mengejutkan.
“Ah..itu Dewan Pers bodong,” kata Widia dengan tegas, mengulangi sebutan “bodong” tersebut berkali-kali.
Widia, yang mengaku sebagai divisi hukum di Media CMN pimpinan terdakwa, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengklaim telah berupaya mendekati pelapor untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, termasuk mendatangi rumah pelapor. Namun, niat baik tersebut tak direspons, dan pelapor bersikukuh untuk menempuh jalur hukum.
Meski demikian, ketika dicecar majelis hakim Anwar Rony Fausi mengenai sumber yang dikumpulkannya di Kantor PHDI Jembrana, Widia tidak mampu menjelaskan relevansi dan bahkan tidak tahu apakah narasumber tersebut adalah orang yang namanya disebut dalam berita.
Selain saksi fakta, kuasa hukum terdakwa juga menghadirkan I Wayan Suyadnya, yang mengaku dari tim Advokasi PWI Bali dan didengar keterangannya sebagai ahli pers. Namun, kredibilitasnya langsung dipertanyakan Jaksa Penuntut Umum Sofyan Heru.
“Bukan ahli pers karena tidak memiliki lisensi ahli,” jawab Suyadnya dengan jujur, meski ia mengaku sebagai wartawan senior sejak 1991 dan Pemimpin Redaksi Bali Media.
Meskipun bukan ahli berlisensi, Suyadnya memberikan pandangan kritis terhadap proses mediasi Dewan Pers dalam kasus ini. Ia menyebut cara mediasi yang dilakukan “tidak lazim”.
“Biasanya, mediasi seperti ini harus dilakukan minimal tiga kali pertemuan untuk mencapai kesepakatan,” jelas Suyadnya. Ia merinci prosedur ideal: mendengarkan kedua pihak, membuat draf perdamaian, meminta tanggapan, dan ditandatangani jika sepakat.
Menariknya, saat ditanya Majelis Hakim apakah prosedur ideal yang ia gambarkan memiliki dasar hukum seperti KUHAP, Suyadnya menjawab tidak ada dasarnya, namun menegaskan hal tersebut sudah lazim dilakukan Dewan Pers.
Pada persidangan yang sama, Majelis Hakim yang dipimpin Firstina Antin Syahrini juga mendengarkan keterangan ahli dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, I Made Pasek.
Pasek menegaskan bahwa pemilik SPBU yang menjadi objek berita tidak melanggar sempadan sungai. Ia menjelaskan bahwa surat teguran BWS tertanggal 6 Juni 2024 hanya meminta pemilik SPBU mengurus izin pengelolaan sumber daya air karena telah membangun konstruksi dinding penahan tanah dan tangga, bukan karena melanggar sempadan.
“Tangga dan dinding penahan tanah tersebut berjarak tiga meter dari tanggul,” papar Made Pasek, memastikan tidak ada pelanggaran sempadan dan masih memberi kesempatan pemilik SPBU mengurus izin hingga Februari 2026. CAK/IJN

