InfoJembrana.com | JEMBRANA- Pernahkah Anda mendengar tentang cakar macan yang misterius di Jembrana? Konon, kisah asal-usul Desa Adat Tegalbadeng Kauh bermula dari sebuah garukan kuku macan. Tempat itu dulunya adalah perkebunan luas yang disebut Tegal Gesgesan. Tak banyak yang berani menetap di sana kecuali mereka yang pemberani. Inilah sepenggal Kisah Raja Pecangakan dan tragedi yang melahirkan nama Tegalbadeng.
Tegal Gesgesan dan Kekuasaan Raja
Jauh sebelum menjadi Desa Adat Tegalbadeng Kauh, wilayah ini adalah perkebunan. Para sesepuh desa bercerita bahwa nama lamanya adalah Tegal Gesgesan. Tegal berarti tanah perkebunan yang subur, tempat berkebun yang luas. Sementara gesgesan artinya bekas garukan kuku yang sangat besar. Garukan misterius ini adalah bekas cakar macan. Meskipun macan tak pernah terlihat, jejaknya membuat penduduk takut.
Wilayah penuh misteri ini berada di bawah naungan Kerajaan Pecangakan. Pusat pemerintahannya sekarang menjadi lokasi Kantor Bupati Jembrana. Raja Pecangakan saat itu adalah I Gusti Ngurah Gede Pecangakan. Nama aslinya adalah Ki Ageng Mekel Bang, putra tertua Raja Bakungan. Raja Pecangakan memiliki dua adik yang ikut menemaninya.
Kuda Kesayangan dan Kecurigaan Sang Kakak
Raja Pecangakan memiliki tunggangan istimewa berwarna putih. Nama kuda itu adalah Jaran Bana Rana. Kuda putih ini merupakan pemberian dari Dalem Pasuruan. Raja Pecangakan juga didampingi oleh patihnya yang gagah berani. Patihnya bernama Ki Tegal Badeng, keturunan Bali Aga.
Di sisi lain, adiknya, Raja Bakungan, menyimpan keinginan tersembunyi. Konon ia ingin memiliki kuda putih kesayangan kakaknya itu. Kecurigaan ini mulai timbul di hati Raja Pecangakan. Kerajaan Pecangakan dan Bakungan saat itu aman dan makmur.
Suatu waktu, Raja Bakungan mengadakan upacara Dewa Yadnya. Ia mengundang sang kakak, Raja Pecangakan, untuk hadir. Meskipun curiga, Raja Pecangakan tetap memutuskan untuk datang. Kerajaan Bakungan adalah pusat leluhurnya.
Wasiat Darah dan Janji Balas Dendam
Sebelum berangkat, Raja Pecangakan mengumpulkan keluarga Puri. Ia berpesan kepada adiknya, Ki Ageng Malele Bang. Pesan ini penuh dengan firasat dan kegelisahan di hatinya. “Apabila kudaku kembali berlumuran darah,” katanya. “Berarti aku telah tertipu dan dibunuh oleh adikku Bakungan.”
Para istri diperintahkan melakukan Darma Satya atau bunuh diri. Harta benda harus disembunyikan dalam tanah. Ki Ageng Malele Bang wajib menuntut balas. Ia harus menghancurkan Puri Bakungan beserta isinya. Setelah berpesan, rombongan Pecangakan pun berangkat.
Kedatangan rombongan Pecangakan disambut meriah. Sambutan rakyat sangat gembira, dua saudara ini lama tak bertemu. Raja Bakungan menyambut kakaknya dengan budi luhur. Ia sudah sadar akan kekeliruan keinginannya. Tidak ada niat jahat sedikitpun di hatinya.
Tragedi Kuda Putih yang Melenceng
Malang tak dapat ditolak, sebuah tragedi tak terduga terjadi. Saat fajar menyingsing, para jagal menyembelih banyak ternak. Mereka menyembelih sapi, kerbau, babi, untuk persediaan upacara. Tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas, Jaran Bana Rana menjadi liar. Kuda itu takut akan ikut disembelih.
Sang kuda brutal dan terlepas dari kandangnya. Kuda ini melompat dan berguling-guling di darah panas sembelihan. Secepat kilat, kuda itu berlari menghilang ke arah Pecangakan. Tak seorang pun dapat menghalanginya.
Kejadian lepasnya kuda dilaporkan kepada dua raja. Raja Pecangakan terkejut luar biasa. Beliau teringat akan wasiat dan pesannya di Puri Pecangakan. Beliau menyadari bahaya yang menanti di Puri.
Darma Satya dan Pembalasan Dendam
Kuda itu tiba di Kerajaan Pecangakan dengan berlumuran darah. Rakyat dan seisi Puri sangat terkejut. Dengan duka yang mendalam, mereka mengingat pesan raja. Perintah itu dilaksanakan tanpa pikir panjang. Para istri dan putra-putri melaksanakan Darma Satya. Harta benda dipendam di sumur.
Ki Ageng Malele Bang lalu mengumpulkan pasukan. Ia bersama Patih Ki Tegal Badeng mengerahkan seluruh pasukan. Pasukan dikumpulkan di daerah Tegal Gesgesan. Besarnya pasukan menghitam (badeng) dan terbendung (ngempel) di wilayah itu. Inilah asal mula Asal Usul Tegalbadeng Jembrana.
Mereka menyerbu dan menghancurkan Puri Bakungan. Negeri Bakungan pun hancur lebur. Patih Bakungan, Ki Jaya Kusuma, tewas dalam pertempuran. Namun, setelah semuanya selesai, dua mayat raja bersaudara tidak ditemukan. Tugas selesai, Ki Ageng Malele Bang kembali.
Penyesalan yang Berakhir Tragis
Tiba-tiba, Raja Pecangakan dan Raja Bakungan tiba di Puri Pecangakan. Mereka disambut isak tangis rakyat. Raja Pecangakan menyesali kekeliruannya. Beliau menyesal karena syak wasangka dan tragedi kuda. Belum selesai bersembahyang, pasukan Malele Bang datang. Mereka menceritakan kehancuran Bakungan.
Raja Bakungan marah besar karena negerinya hancur. Ia menantang perang Dharma Kesatria. Dua saudara itu akhirnya sepakat untuk berperang tanding. Mereka bertanding mati-matian di dekat muara sungai. Keduanya sama kuat dan tak ada yang tewas.
Mereka memutuskan mengikat badan dan menceburkan diri ke air. Saat di air, seekor ikan besar menyambar lidah dan pusar mereka. Kedua raja pun tewas. Mayat mereka ditemukan seorang pencari ikan. Mereka dikubur menjadi satu di Pura Kembar.
Setelah linanya dua kerajaan sekitar 1450 M, daerah ini dinamakan Jembrana. Nama Jembrana berasal dari kata Jaran Bana Rana. Nama Tegalbadeng diabadikan dari pasukan menghitam (badeng) yang ngempel (terbendung) di wilayah Tegal Gesgesan. Juga untuk mengenang Patih Pecangakan, Ki Tegal Badeng.
Kini, Desa Adat Tegalbadeng Kauh memiliki wilayah yang sama dengan Desa Tegalbadeng Barat. Kisah ini mengajarkan bahwa syak wasangka dan kesalahpahaman selalu berbuah keburukan. (GA/IJN).
Sumber Artikel: https://tegalbadengkauh.weebly.com/


