InfoJembrana.com | JEMBRANA– Pernahkah Anda mendengar sebuah desa lahir dari perjalanan panjang penuh harap? Kisah Desa Pengeragoan bermula dari sebuah migrasi besar. Sekelompok orang tua berjalan kaki sejauh 50 kilometer. Mereka mencari lahan pertanian baru. Perjalanan melelahkan ini dimulai dari Pangkung Tibah, Tabanan.
Rombongan tersebut dipimpin oleh seorang tokoh penting. Beliau adalah seorang pemimpin bernama Pan Bing.
Perjalanan Panjang Mencari Tanah Harapan
Perjalanan itu dimulai sekitar tahun 1919. Para orang tua dari Pangkung Tibah bergerak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepi pantai. Tujuannya sangat jelas dan mulia. Mereka mencari lahan subur untuk bertani, sekaligus ingin membangun desa baru. Ini semua dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga mereka.
Setelah berjalan kaki beberapa hari lamanya, mereka tiba di sebuah muara sungai kecil. Muara sungai itu terletak di tepi pantai. Para orang tua memutuskan berhenti di sana, keesokan harinya mereka masuk ke kawasan. Mereka memeriksa kesesuaian lokasi itu. Mereka ingin melihat apakah tempat itu cocok untuk dijadikan lahan pertanian.
Lahirnya Pura Segara dari Turus Lumbung
Rombongan itu kemudian mulai membangun tempat tinggal darurat bersama. Karena semua rombongan beragama Hindu, mereka membuat sebuah turus lumbung. Turus lumbung ini menjadi tempat memohon keselamatan kehadapan Tuhan. Tujuannya adalah semoga mereka selamat dalam membuka lahan pertanian.
Turus lumbung tersebut kemudian dibangun kembali menjadi sebuah pura kawitan. Pura ini diberi nama Pura Segara. Sampai saat ini, Pura Segara masih berdiri, yang letaknya di sebelah selatan Sungai Pengeragoan. Setelah membangun turus lumbung itu, barulah mereka bekerja membuka lahan. Pembukaan lahan dilakukan secara gotong royong. Hal ini dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Belanda saat itu.
Geraga: Nama Desa yang Lahir dari Udang Kecil
Setelah beberapa waktu berlalu, Ketua rombongan, Pan Bing, berkeinginan membuat nama untuk tempat itu. Kemudian diadakan rembug bersama semua yang ada. Akhirnya mereka mencapai satu kesimpulan nama yang akan digunakan.
Nama yang disepakati sangat unik. Nama itu adalah udang kecil “Geraga”. Udang kecil ini banyak terdapat di sungai sekitar daerah itu. Suatu ketika, Geraga ini melimpah ruah. Jumlahnya tidak habis dimakan masyarakat. Kata dasar ini kemudian berkembang. Dari kata Ngeraga dan Geraga, hingga menjadi Gumi Pengeragoan. Itulah nama yang dipakai hingga kini.
Perkembangan Wilayah dan Kedatangan Penduduk Baru
Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1927 datang lagi sekelompok orang baru. Jumlah mereka kurang lebih 80 orang. Mereka berasal dari Dusun Lebih Desa Sebudi di Kabupaten Karangasem. Kelompok inilah kemudian menempati kawasan hutan.
Setelah mendapat izin dari pemerintah, tempat tinggal mereka kini menjadi banjar. Banjar itu diberi nama Banjar Badingkayu. Kemudian datang lagi rombongan lain dari Desa Tista. Tista di Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Mereka bertempat di sebelah utara dari Banjar Badingkayu. Wilayah ini sekarang menjadi Banjar Mengenuanyar.
Pada tahun 1993, Banjar Mengenuanyar berkembang. Banjar ini mekar menjadi dua banjar definitif yaitu Banjar Mengenuanyar dan Banjar Pasut. Perkembangan ini menunjukkan bahwa Desa Pengeragoan terus tumbuh menjadi desa yang semakin besar.
Kisah Pengeragoan adalah cerita berharga. Cerita tentang keberanian dan harapan. Perjuangan panjang mencari penghidupan, serta membangun desa dari nol. Warisan ini adalah inspirasi kita untuk terus berjuang. (GA/IJN).