INFOJEMBRANA.COM– Candikusuma, sebuah desa di pesisir selatan Bali Barat. Desa ini adalah saksi bisu sejarah panjang. Dari peradaban kuno hingga perjuangan kemerdekaan. Jejaknya terukir dalam peninggalan. Ada candi, sumur suci, dan pura bersejarah. Candikusuma adalah perpaduan unik.
Desa ini bukan terbentuk begitu saja. Ada proses sosial budaya yang kaya. Jejak kehidupan manusia sudah ada. Sejak kelahirannya desa ini. Jejak ini terus terawat baik. Ini dilansir dari bkkbn.go.id.
Perjalanan Suci Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh
Sejarah Candikusuma dimulai dengan seorang pendeta. Namanya Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Beliau dalam perjalanan suci. Dari Blambangan, Jawa Timur, menuju Gelgel, Klungkung. Bersamanya ada istri dan putrinya. Istrinya, Danghyang Istri Sakti, sedang hamil. Putrinya bernama Ida Ayu Swabawa.
Mereka singgah di Candikusuma. Mendarat di tanjung pasir berhutan lebat. Kehadiran mereka diterima oleh dua warga. Pan Jebah dan Pan Bulus, nama mereka. Ketika baru mendarat, sang putri haus. Ia meminta air minum. Ida Pedanda Sakti memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Memohon agar diberi air tawar.
Tiba-tiba muncul air dari dalam tanah. Air itu mengalir terus-menerus. Membentuk sebuah sungai kecil. Aliran air ini diberi nama Tukad Danghyang Cerik. Kini lebih dikenal sebagai Tukad Sanghyang Cerik. Sungai ini adalah anugerah suci.
Selama persinggahannya, Pedanda Sakti memberi tuntunan. Tuntunan agama Hindu kepada warga. Tuntunan ini sangat mencerahkan. Setelahnya, beliau melanjutkan perjalanan. Menuju Gelgel, hanya ditemani putrinya.
Istrinya, Danghyang Istri, tidak ikut. Ia menetap di Candikusuma karena hamil tua. Pedanda Sakti meninggalkan istrinya. Sebuah keris dan mata air ditinggalkan. Sumber air itu diberi nama Sumur Bulus. Lokasi tinggalnya dinamai Griya Indraloka.
Berselang lama, Danghyang Istri pindah. Ia tidak kuat dengan angin laut. Serta bisingnya deruan ombak besar. Ia pindah ke tepi Sungai Danghyang Gede. Di lokasi Pura Dangkahyangan Indra Kusuma. Di sinilah Danghyang Istri moksa. Ia meninggalkan seorang putra. Putranya bernama Ida Bagus Bajra. Ida Bagus Bajra juga pralina di sana.
Perkebunan Belanda dan Tugu Sakral
Tahun 1897, seorang tokoh Belanda datang. Namanya Dumay. Ia membuka perkebunan luas. Perkebunan kelapa, kopi, dan cokelat. Luasnya mencapai 100 hektar. Namun, perkebunan ini sering diganggu. Harimau dan banteng hutan mengganggu. Dari laut, buaya juga menyerang.
Gangguan ini memakan banyak korban. Dumay berusaha mengusir binatang buas. Berbagai cara telah dicoba. Namun gangguan justru makin ganas. Dumay kemudian mengundang tokoh Puri Gede Jembrana. Ia meminta bantuan untuk ritual.
Ritual persembahyangan dilakukan. Dilaksanakan di lokasi bekas Griya Indraloka. Empat orang ikut dalam ritual. Ada Anak Agung Gede Kangsa. Putranya Anak Agung Putu Brata. Dumay dan putranya, Beber, juga ikut. Dalam meditasi, mereka melihat sebilah keris. Keris bermata tiga bersinar. Muncul dari dalam tanah.
Di tempat keris itu muncul. Dumay mendirikan sebuah tugu. Tugu bersegi tiga itu dinamai Tugu Candikusuma. Sejak tugu itu dibangun. Kawasan ini diberi nama Pesedahan Candikusuma. Batasnya sudah ditentukan dengan jelas. Kehutanan, pelabuhan, dan banjar. Semua dinamai Candikusuma.
Jejak Perjuangan Kemerdekaan
Pada tahun 1945, Desa Candikusuma dinamai. Diberi nama Desa Sanghyang Cerik. Sa’ad adalah pejabat pertama. Pejabat kepala desa di sana.
Namun, pada 16 Maret 1976. Nama desa dikembalikan ke semula. Yaitu Desa Candikusuma. Keputusan ini berdasarkan catatan sejarah. Karena nama Candikusuma lebih dikenal. Dan punya andil besar dalam perjuangan.
Desa Candikusuma adalah pusat pertahanan. Pertahanan untuk Bali Barat. Pertempuran di kawasan Kenari terjadi. Mengakibatkan gugurnya pahlawan bangsa. Yaitu Saestuadi. Pertempuran juga terjadi di Banjar Moding. Tujuh pemuda pejuang gugur di sana. Candikusuma adalah saksi bisu. Perjuangan melawan Tentara Gajah Merah.
Jejak sejarah dan perjuangan ini. Membuat Candikusuma istimewa. Ia bukan sekadar desa pesisir. Ia adalah simbol keberanian. Serta identitas yang kuat. GA/IJN.