Pura Gede Perancak, Kisah Danghyang Nirartha, Labu Pahit, dan Sejarah Berharga di Jembrana

0
34
Empat orang krama perempuan saat nangkil atau berkunjung ke Pura Gede Perancak. (ig @mamank_esha).

INFOJEMBRANA.COM– Di desa pesisir bernama Perancak. Terletak sebuah pura yang sangat suci. Namanya Pura Gede Perancak. Pura ini menghadap ke arah barat. Panorama Sungai Perancak yang lebar. Serta tenang menjadi daya tarik. Sungai ini tampak seperti kolam. Di seberang sungai, terhampar perladangan. Pura ini menyimpan kisah spiritual. Kisah seorang pendeta yang suci.

Pura Gede Perancak adalah simbol kedatangan. Kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali. Perjalanan beliau penuh tantangan. “Kisah ini dilansir dari sebuah lontar kuno. Lontar Dharma Yatra,” jelas seorang sejarawan lokal. Perjalanan yang penuh makna dan tantangan.

Dahulu kala, Danghyang Nirartha bermukim di Blambangan. Namun, ia berselisih dengan Raja Blambangan. Raja menuduh beliau memakai guna-guna. Tuduhan itu muncul karena keringatnya harum. Seperti minyak bunga mawar. Siapapun yang dekat dengannya. Akan ikut berbau harum.

Pancaran suci Danghyang Nirartha memikat. Adik Raja Blambangan jatuh cinta. Ia mencintai pendeta yang suci ini. Untuk menghindari masalah yang lebih besar. Danghyang Nirartha memutuskan pergi. Ia mengajak istri dan tujuh putra putrinya. Mereka akan menyeberang ke Pulau Bali.

Pada tahun 1478 Masehi, mereka menyeberang. Dari Pantai Blambangan. Mereka menyeberangi Selat Bali. “Danghyang Nirartha dan keluarganya. Menyeberang dengan perahu pinjaman. Perahu itu diberikan oleh seorang nelayan,” ungkap seorang tokoh adat. Perahu itu kondisinya sudah rusak.

Untuk mengatasi perahu yang bocor. Perahu itu ditutup dengan daun labu pahit. Daun labu ini pemberian warga Desa Menjaga. Danghyang Nirartha sendiri menyeberang beda cara. Ia memakai buah labu pahit. Buah labu ini isinya sudah dibuang. “Beliau menyeberang dengan labu pahit. Serta memakai tangan dan kakinya. Tangan dan kaki sebagai dayung. Hingga tiba dengan selamat di Bali,” jelas seorang pemangku pura.

Setibanya di pantai barat Bali. Danghyang Nirartha berteduh. Ia beristirahat di bawah pohon Ancak. Beliau berjanji tidak akan mengganggu. Atau memakan buah waluh. Janji ini diikuti para keturunannya. Tidak lama kemudian, istri dan putranya tiba. Mereka beristirahat beberapa hari.

Di Jembrana, berkuasa seorang Anglurah. Namanya I Gusti Ngurah Rangsasa. Anglurah ini mengemong sebuah pura. Pura tersebut bernama Pura Usang. Masyarakat di sana punya sifat “uraga pati”. Mereka masih dalam kegelapan. Sulit mengendalikan hawa nafsu.

Melihat hal itu, sang maharesi memberikan petuah. Petuahnya tentang arti kebajikan. Banyak warga datang untuk pencerahan. Ajaran agama yang diberikan sangat mencerahkan. “Sang maharesi memberikan petuah dan pemahaman. Pemahaman akan arti kebajikan. Banyak warga datang untuk mendapatkan pencerahan. Tentang ajaran agama,” jelasnya.

Kabar tentang Danghyang Nirartha terdengar Anglurah Rangsasa. Hatinya tergugah mendengar berita. Suatu hari dia mendatangi Danghyang Nirartha. Dia mengajak beliau sembahyang. Sembahyang di Pura Usang. Maharesi tidak menolak ajakan.

Mereka pun datang ke pura milik Anglurah. Saat Danghyang Nirartha mengatupkan tangan. Pura itu tiba-tiba pecah. “Baru saja Danghyang Nirartha mengatupkan tangan. Pura ini ternyata pecah. Itu tanda kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa,” ungkap seorang juru kunci.

Pecahnya pura itu adalah tanda kekalahan. Kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa. Dalam berdiskusi dengan maharesi. Anglurah itu akhirnya mohon pamit. Dia memilih melanjutkan hidup. Sebagai seorang pertapa.

Untuk menghormati jasanya. Masyarakat membangun tempat suci. Tempat suci itu bernama Pura Ratu Gede Rangsasa. Sepeninggal I Gusti Ngurah Rangsasa. Danghyang Nirartha berpamitan. Beliau dan keluarga melanjutkan perjalanan. Perjalanan melalui darat. Melintasi hutan belukar yang luas.

Sepeninggalan Danghyang Nirartha. Warga membangun tempat suci. Tempat suci itu untuk mengenang jasanya. “Warga membangun tempat suci. Diberi nama Pura Gede Perancak,” jelasnya. Sejarah ini dilansir dari situs Sejarahbali.com.

Pura Gede Perancak kini jadi Pura Dang Kahyangan. Pura yang dikelola lima desa. Desa Perancak, Yeh Kuning, Sangkaragung, Budeng. Serta Dangin Tukadaya. Setiap enam bulan sekali, ada piodalan. Lima desa ini bergantian. Mengatur upacara dengan khidmat. GA/IJN.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here