
JEMBRANA, (IJN) – Para pengusaha tahu tempe di Kabupaten Jembrana kini tengah menghadapi badai ekonomi akibat lonjakan harga kedelai impor yang terus meroket. Kenaikan signifikan pada bahan baku utama ini telah memukul biaya produksi secara telak, sementara harga jual produk di pasaran tak mampu beranjak naik.
Lina Fahmi, seorang pengusaha tahu tempe yang menjalankan usahanya di Lingkungan Terusan, Kelurahan Lelateng, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi yang kian sulit ini. Ia menyebutkan bahwa harga kedelai impor saat ini telah mencapai angka Rp10 ribu per kilogram. Padahal, harga normal sebelumnya berkisar di angka Rp8.300.
“Dengan kondisi harga kedelai yang terus melambung, kami benar-benar merasa sangat terbebani,” ujar Lina, Jumat 9 Mei 2025. Lina menjelaskan bahwa produksi tahu tempenya tetap berjalan stabil di angka 50 kilogram per hari. “Artinya, untuk bahan baku saja, kami harus mengeluarkan biaya hingga Rp500 ribu setiap harinya,” imbuhnya.
Ironisnya, kenaikan biaya produksi ini tidak dapat diimbangi dengan penyesuaian harga jual tahu di tingkat konsumen. Lina mengaku terpaksa mempertahankan harga satu sisir tahu di angka Rp2 ribu demi mempertahankan loyalitas pelanggan.
“Jika harga tahu ikut kami naikkan, kami khawatir para pembeli akan beralih ke produk lain. Jadi, dengan berat hati, selisih biaya ini terpaksa kami tanggung sendiri,” keluhnya.
Dalam situasi yang kian mencekik ini, Lina berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah konkret untuk menstabilkan harga kedelai. Ia khawatir, jika kondisi ini terus berlarut-larut, akan semakin banyak pengusaha kecil di sektor tahu tempe yang terpaksa gulung tikar.
“Kami sangat membutuhkan perhatian dan uluran tangan dari pemerintah. Besar harapan kami agar ada upaya nyata untuk menekan harga kedelai, sehingga usaha kecil seperti kami ini dapat terus bertahan dan menghidupi keluarga,” pungkasnya.
Kisah pilu yang dialami Lina Fahmi ini menjadi cerminan betapa rentannya para pengusaha kecil terhadap fluktuasi harga komoditas global. Pemerintah diharapkan dapat segera merespons keluhan ini dengan kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah. CAK/IJN