
JEMBRANA, (IJN) – Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan pengusaha asal Denpasar, Dewi Supriani alias Anik Yahya, terhadap oknum wartawan di Jembrana, I Putu S (IPS), masih menjadi sorotan. Kapolres Jembrana, AKBP Endang Tri Purwanto, mengakui bahwa kasus ini menjadi salah satu “utang” kasus yang belum terselesaikan menjelang masa tugasnya berakhir dan pindah ke Polda Jawa Barat.
“Kami masih melakukan proses penyidikan,” ujar Kapolres singkat dalam jumpa wartawan di Mapolres Jembrana beberapa waktu lalu, ketika ditanya mengenai perkembangan kasus yang telah berjalan hampir setahun ini.
Proses tersebut, kata Kapolres, terpaut waktu, jadwal pemeriksaan keterangan beberapa saksi ahli, seperti saksi ahli bahasa maupun yang lainnya yang diundang berhalangan hadir, sehingga terus bergulir memerlukan tambahan kembali.
“Jadi inikan memerlukan waktu. Pokoknya, masih proses, dan kita juga masih melengkapi petunjuk petunjuk dari jaksa (Kejari Jembrana),” imbuhnya.
Laporan dugaan pencemaran nama baik ini dilayangkan pada 10 Mei 2024. Kuasa Hukum Anik Yahya, Donatus Openg, ditemui Senin 17 Maret 2025, mengungkapkan bahwa setelah penyelidikan selama tiga bulan, penyidik Polres Jembrana mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 22 Agustus 2024 kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jembrana.
Kejaksaan Negeri Jembrana, melalui Plh. Kepala Kejaksaan Negeri Jembrana, Putu Andy Sutadharma, merespons dengan mengirim surat (P-17) kepada Kapolres Jembrana pada 27 September 2024. Dalam surat tersebut, Penuntut Umum meminta perkembangan hasil penyidikan atas nama terlapor, I Putu S yang disangka melanggar Pasal 45 ayat (4) Jo Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Proses penyidikan kasus ini sempat mengalami dinamika yang menarik. Awalnya, aparat penegak hukum lebih fokus pada judul berita yang ditulis oleh oknum wartawan tersebut, yaitu “Seakan Menjajah, Investor ini Masuk Kabupaten Jembrana dan Mencaplok Sempadan Sungai.” Fokus penyidikan pada masalah pencaplokan sempadan sungai menyebabkan proses terkesan stagnan dan memunculkan wacana restorative justice (RJ).
“Kondisi ini muncul setelah penyidik meminta keterangan dari petinggi BWS Bali yang merujuk pada surat BWS tertanggal 6 Juni 2024 yang ditujukan kepada investor tentang pelanggaran sempadan. Namun, dalam isi suratnya, sama sekali tidak menyebutkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh investor,” jelas Donatus Openg.
Titik terang mulai muncul ketika penyidik mendalami narasi “menjajah” yang sebelumnya tidak tersentuh. SPDP kedua pun diterbitkan pada 4 Desember 2024. Namun, hingga saat ini, belum ada perkembangan signifikan, meskipun Jaksa Penuntut Umum telah memberikan petunjuk untuk pemeriksaan tambahan, yang sudah dilakukan.
Kuasa hukum pelapor lainnya, I Made Sugiarta, menyatakan keyakinannya bahwa kasus ini akan terus berlanjut. Ia menegaskan bahwa bukti surat dan izin yang dimiliki investor lengkap dan telah diserahkan kepada penyidik. Ia juga meyakini bahwa pergantian pimpinan di Polres Jembrana tidak akan menghambat proses hukum.
“Walaupun ada pergantian pimpinan, saya yakin seluruh jajaran Polres Jembrana akan bekerja profesional. Saya berharap laporan yang sudah berjalan hampir setahun ini bisa segera diberikan kepastian bagi masyarakat pencari keadilan,” tegas Sugiarta.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas penegakan hukum di Jembrana. Masyarakat berharap agar kasus ini dapat segera diselesaikan dengan transparan dan adil, serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. CAK/IJN