JEMBRANA, (IJN) – Harga kakao di tingkat petani mencapai Rp150 ribu per kilogram, tertinggi dalam sejarah. Kenaikan harga ini disambut sukacita oleh para petani, seperti I Ketut Sukarta (55) yang telah menekuni budidaya kakao selama 20 tahun.
Menurutnya tingginya harga saat musim panen kakao di Jembrana membawa semangat baru bagi para petani. Harga ini, kata dia, merupakan sejarah pertama kali di Jembrana harga kakao menyentuh Rp. 150 ribu per kilogram.
“Semoga harga seperti ini terus stabil dan memberikan semangat baru para petani kakao, khususnya petani kakao di Jembrana,” tutur Sukarta, Rabu 26 Juni 2024.
Sementara Ketua Koperasi Kerta Semaya Samaniya Jembrana I Ketut Wiadnyana, menuturkan, kenaikan harga kakao ini, mulai dari harga jual dari tingkat petani hingga harga jual tingkat produksi olahan kakao yang sudah difermentasi untuk bahan cokelat.
“Kenaikan harga kakao ini terjadi sejak beberapa bulan lalu, naiknya secara bertahap dan hari ini cukup tinggi,” ujarnya.
Harga dari petani untuk kakao basah per kilogram antara Rp 38 ribu hingga Rp 40 ribu. Sedangkan harga tahun lalu Rp 14 ribu hingga Rp 20 ribu. Untuk harga jual kakao kering saat ini per kilogram Rp 155 ribu hingga Rp 165 ribu. Namun harga kakao dari petani tergantung dari kualitas dan jenis. “Harga beli dan jual ini tergantung kualitas juga,” ujarnya.
Kakao koperasi lebih mahal karena kakao yang sudah difermentasi sebagai bahan baku cokelat. Sedangkan harga kakao yang di luar koperasi tanpa proses fermentasi perkilogram lebih murah sekitar Rp 154 ribu.
Koperasi yang dikelola setiap tahun, maksimal 58 ton tertinggi yang pernah dicapai dan terendah 24 ton. Pada tahun ini, diprediksi hasil kakao di Jembrana cukup baik karena minat para petani kakao mulai tinggi. Terlebih dengan adanya koperasi dan pihak yang mendukung produksi kakao.
“Sebelumnya, petani yang sempat beralih ke tanaman lain, kembali menanam kakao. Prospek kedepannya pertanian kakao sangat cerah dibandingkan komoditi lain,” tegasnya.
Lonjakan harga kakao ini dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketidakseimbangan supply dan demand. Menurut Penggiat Kakao Fermentasi Indonesia, Agung Widiastuti, pasar memiliki kebutuhan kakao yang tinggi, namun ketersediaan biji kakao tidak seimbang. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi di Ghana dan Pantai Gading, dua negara penghasil kakao terbesar di dunia, akibat dampak dari perubahan iklim dan serangan virus swollen shoot roots.
“Selain itu, faktor global lain seperti nilai tukar dolar terhadap rupiah yang semakin tinggi juga turut mendorong kenaikan harga kakao,” tambah Widiastuti, dikonfirmasi, Rabu (26/6/2024).
Kenaikan harga kakao ini menjadi berkah bagi para petani di Jembrana. Namun, Widiastuti mengingatkan agar para petani tidak terlena dengan harga tinggi ini dan tetap menjaga kualitas kakao mereka.
“Pesan penting yang ingin kami sampaikan adalah jangan sampai dengan harga kakao yang sedemikian mahal ini, fermentasi kemudian ditinggalkan. Fermentasi harus tetap menjadi perjuangan di semua lini. Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya tetap berkomitmen untuk menjaga kualitas kakao bersama petani dampingan koperasi melalui proses fermentasi, meskipun tantangannya sangat besar saat ini” ujar Widiastuti.
Fermentasi kakao adalah proses pengolahan biji kakao yang menghasilkan rasa dan aroma yang lebih kompleks. Kakao fermentasi dari Jembrana telah mendapatkan penghargaan di ajang kompetisi internasional dan diminati oleh para pembuat cokelat premium.
Widiastuti berharap agar para petani kakao di Jembrana tetap berkomitmen untuk menghasilkan kakao berkualitas tinggi dan menjaga proses fermentasi agar tetap lestari. CAK/IJN