JEMBRANA, (IJN) – Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Jembrana, Selasa 9 Januari 2024 menanggapi permasalahan konflik yang dialami Krama di Desa Adat Budeng, Jembrana Bali, terkait sanksi tidak mendapatkan pelayanan, fasilitas setra dan lainya oleh bendesa adat setempat.
Menurut MDA Jembrana, I Nengah Subagia, desa adat saat ini memang memiliki hak otonomi. Artinya, desa adat itu bisa membuat aturan sendri dan juga bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun, tetap harus menghormati aturan-aturan yang ada, baik di desa adat maupun aturan lainya. Sehingga ketika menjatuhkan sanksi tersebut sudah sesuai dengan aturan yang sudah disepakati bersama.
“Kita di majelis, memang merasa terkejut sedikit (adanya masalah Krama Adat Budeng). Memang desa adat memiliki hak otonom. Artinya desa adat itu bisa membuat aturan sendri, bisa menyelesaikan masalah sendiri, kan begitu. Walaupun seperti itu, kita juga tidak boleh arogan, kita hormati aturan aturan yang ada di desa adat. Tetapi, kalau bisa dengan matang dulu, sebelum kita menjatuhkan sanksi,” kata Subagia, dikonfirmasi InfoJembranaNews melalui sambungan telepon, Selasa 9 Januari 2024.
Subagia mengatakan, Kasepekang atau pemberhentian sementara (layanan krama adat) berbeda dengan Kanorayang atau pemberhentian permanen (tidak mendapat pelayanan). Sehingga, kata dia, arahan dari MDA provinsi juga menghimbau, jangan sampai krama adat itu kena sanksi Kasepekang, apalagi Kanorayang.
“Kalau Kesepekang, kita sebut istilahnya pemberhentian sementara. Kalau pemberhentian sementara ini, sebenarnya prosesnya panjang. Nah, saya juga menghormati putusan (Bendesa Adat), mungkin sampun berproses juga di desa, terutama di Desa Adat Budeng, kemudian jatuh pada titik itu (pada titik sanksi),” ungkapnya.
Tetapi, lanjut Subagia, Kasepekang atau pemberhentian sementara ini, sebenarnya masih bisa mempergunakan fasilitas desa adat, seperti setra dan kayangan tiga desa. Hanya saja pelayanan atau ayah-ayahan yang tidak diberikan. Lain halnya dengan sanksi Kanorayang (pemberhentian permanen), statusnya seperti Krama Tamiyu, artinya sudah diputus permanen.
Sehingga tentu tidak mendapatkan (pelayanan apapun), dimana krama yang dikenakan sanksi adat ini akan dikeluarkan dari persekutuan desa pakraman, hal ini dikarenakan krama tersebut melakukan pelanggaran yang telah membuat keseimbangan dalam Desa Pakraman menjadi terganggu.
“Seperti itu kalau definisi Kasepekang dan Kanorayang. Namun, kemudian kembali kepada desa adat itu sendiri. Jika upaya pembinaan-pembinaan sudah dilakukan, namun tidak menemui kata sepakat diantara krama, terutama krama yang kena sanksi itu. Di satu sisi, punya alasan juga, mungkin sudah dibina, ngetuwel (membandel). Ada alasan kuat sehingga desa adat itu bersikap seperti itu,” jelasnya.
Ia berharap, ke depan hal seperti ini lebih intens dibicarakan kepada semua pemangku jabatan, sehingga ada solusi terbaik, tentu dengan mengedepankan, aturan aturan, baik perarem yang ada di desa adat maupun aturan negara yang juga perlu menjadi acuan.
Pihaknya juga meminta kepada semua pihak, baik tokoh adat, maupun krama desa, untuk tidak mencari salah atau benar, namun bisa memetik pelajaran dari masalah ini, dan saling introspeksi diri, sehingga hal seperti ini tidak terjadi lagi ke depannya.
“Kalau bisa cari win-win solusi lah. Sekali lagi harapan saya, supaya tidak ada lagi hal-hal seperti ini. Cukup terjadi sekali ini saja,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, I Wayan Sudiarta salah seorang warga (Krama) Desa Adat Budeng, Jembrana Bali, kecewa lantaran tidak diijinkan melakukan prosesi upacara Pengabenan (Pitra Yadnya) anaknya yang meninggal dunia di Setra (kuburan) desa adat tempatnya sendiri. Desa adat memberikan sanksi tersebut, lantaran Sudiarta melakukan penyalahgunaan dana LPD, sewaktu menjabat sebagai ketua. CAK/IJN