Tak Diijinkan Ngaben di Setra Sendiri, Krama Adat di Jembrana Kecewa

0
1536
Prosesi upacara Pitra Yadnya Pengabenan I Kadek Prayogi Yogantara (Alm) di setra / sema di krematorium Desa Adat Tegal Badeng Timur, pada Sabtu 6 Januari 2024. Sumber foto: cak /IJN

JEMBRANA, (IJN) – Seperti pepatah sudah jatuh ketimpa tangga. Begitulah nasib yang dialami keluarga I Wayan Sudiarta, salah seorang warga (Krama) Desa Adat Budeng, Jembrana Bali, kecewa lantaran tidak diijinkan melakukan prosesi upacara Pengabenan (Pitra Yadnya) anaknya yang meninggal dunia di Setra (kuburan) desa adat tempatnya sendiri.

Akibat keputusan desa adat yang dinilai kaku tersebut, pihak keluarga I Wayan Sudiarta akhirnya meminjam tempat (setra lain) untuk melaksanakan kremasi jenazah anak yang meninggal akibat kecelakaan, di krematorium Desa Tegal Badeng Timur, pada Sabtu 6 Januari 2024 lalu. Meski digelar diluar desa, ratusan krama Desa Adat Budeng juga ikut mengiringi prosesi pengabenan tersebut.

Menurut adik kandung Wayan Sudiarta, I Komang Miasa (53), keputusan tersebut dinilai kurang bijaksana dan tidak ada rasa sisi kemanusiaan. Semestinya diberikan kebijakan menggunakan setra (tempat ngaben) atau paling tidak mendapatkan tirta dari Pura Prajapati dalam prosesi Pitra Yadnya ini. Namun nyatanya satu pun tidak ada diberikan ijin.

“Dan Itu pun sudah berkali-kali kita lakukan upaya ke Bendesa (Desa Adat Budeng) memohon untuk meminta kebijakan, tapi tetap tak berubah. Sampai Pemangku pun kami tidak dikasi,” ungkapnya.

Wayan Sudiarta, kata dia, yang merupakan mantan Ketua LPD Budeng, sempat mengalami permasalahan penyalahgunaan dana LPD beberapa tahun lalu. Namun ia sangat menyayangkan sanksi adat tersebut juga diterapkan pada keponakannya. Menurutnya, hanya bapaknya yang sebenarnya menjalankan sanksi adat.

Meski, dalam paruman yang bersangkutan sanggup mengembalikan serta dikenai sanksi sosial, salah satunya tidak mendapatkan pelayanan adat. Tetapi, lanjut Miasa, yang tercantum adalah nama bapaknya dan bukan nama anaknya yang meninggal.

“Kami hanya memohon haknya anak. Sangat disayangkan tidak ada kebijakan, sudah tiga kali kami datang ke Bendesa memohon, bahkan terkahir kami datangi dengan keluarga besar, tetap tidak bisa,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan I Nengah Ardana (43) kerabat lain, yang juga menilai tidak ada toleransi, sementara yang bersangkutan juga sudah beritikad baik, berupaya untuk menyelesaikan dengan cara mencicil kewajibannya beberapa kali dalam waktu yang telah ditentukan, bahkan rumah juga sudah dipasangi papan pengumuman.

“Jadi kejadian tiba-tiba ini (anaknya meninggal) akhirnya timbullah awig yang seperti ini. Sedangkan awig itu saya tau, tidak ada seperti itu,” imbuhnya.

Dikonfirmasi terpisah, Bendesa Budeng, I Ketut Hindu Riyasa mengatakan, keputusan itu untuk menegakkan hasil keputusan paruman kaitannya dengan awig-awig dan pareram Desa Adat Budeng.

Bahkan hal itu, kata dia, jauh sebelumnya dalam paruman tiga tahun lalu telah diberikan kebijakan yang bisa ditempuh bersangkutan untuk kesanggupan melakukan pembayaran, namun kewajibannya itu tidak dipenuhi yang bersangkutan. Karena menurutnya, ini bukan terkait dana pinjaman, tetapi penggelapan, keputusan paruman memberikan ruang kebijakan agar diselesaikan.

“Saat itu, sanggup tiap bulannya Rp 4 juta, tapi sekarang tiga tahun baru terkumpul Rp 16 juta, ini menjadi bidikan masyarakat. Kalau kita tidak sekarang menjalankan ini, nanti akan semakin berat,” kata Bendesa, saat dikonfirmasi, Minggu 7 Januari 2024.

Hindu Riyasa juga mengatakan, keputusan perarem sebenarnya masih ada kebijakan, dengan syarat melakukan pengembalian dana tersebut. Namun, secara pribadi, pihaknya juga merasa kasihan. Tetapi selaku Bendesa, pihaknya juga harus menjalankan aturan yang ada.

Bahkan, kata Riyasa, jika saklek menerapkan awig-awig, warga ini sudah tidak ada di Budeng karena kesepekang. Namun tetap mengedepankan sisi kemanusiaan. Penegakan ini, menurutnya bukan baru kali ini saja diterapkan. Beberapa kali dilakukan dengan keputusan bersama melalui paruman. Melainkan bukan terkait penyalahgunaan, tetapi krama yang memiliki kredit macet.

“Kami manusiawi juga, kalau jalankan itu sudah dari dulu jalankan. Tetapi masih ada kebijakan. Waktu ke rumah juga kami jelaskan langsung, beliau selaku karyawan apalagi Ketua LPD, melakukan penyimpangan tahu sanksinya. Dan harus dipenuhi sanksinya. Tetapi tidak dipenuhi, untuk menjaga kondusivitas. Bendesa harus bagaimana secara sekala lan niskala, apa yang ditegakkan desa adat,” pungkasnya.

Ia berharap, warga terutama Krama Adat Budeng memahami kebijakan yang sudah diputuskan bersama tersebut. Sebagai bendesa, pihaknya hanya melaksanakan apa yang menjadi awig-awig perarem dan bukan karena kepentingan pribadi, apalagi keinginan sendiri. CAK/IJN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here