Menikmati Jaje Bendu di Penyaringan, Lebih Lembut Saat Digigit dan Gurih

0
177
Pasangan suami istri (Pasutri) Nyoman Sukadana dan Ni Kadek Sukani saat mengolah jaje bendu di dapur rumahnya. Sumber foto : ONO/IJN

JEMBRANA, (IJN) – Jajan bendu, merupakan salah satu jaje tradisional yang dibungkus dengan daun pisang, masih tetap digemari masyarakat. Tak hanya di kabupaten saja, tetapi jajanan khas Kabupaten Jembrana ini sangat dikenal dan digemari masyarakat di luar Jembrana. Bahkan di luar Provinsi Bali pun, sudah banyak yang tahu, jaje (jajan) bendU merupakan salah satu khas jajan di Kabupaten Bumi Mekepung ini.

Meski banyak yang paham cara pembuatannya, tapi belum tentu pasti sama rasanya antara pembuatan atau produksi satu orang dengan yang lainnya. Artinya, bicara soal rasa bisa dipastikan akan berbeda satu sama lainnya. Pemaham itu dibuktikan oleh pasangan suami istri,  Nyoman Sukadana (53) dengan Ni Kadek Sukani (51) di Banjar Anyar Kelod Desa Penyaringan Kecamatan Mendoyo. Pasangan suami istri yang tampak sederhana itu, sudah menekuni membuat jaje bendu itu sejak tahun 1997 lalu.

Rumahnya yang berada diujung gang persawahan. Namun tampak asri dan teduh. Sukadana bersama istrinya, tidak memiliki ruang khusus untuk produksi, cukup di dapur dan ruangan yang tidak begitu luas. Saat berkunjung ke rumahnya belum lama ini, Sukani sedang memproduksi jaje bendu warna ungu. Jaje bendu buatan Sukani bersama suaminya itu, terkenal lembut dan gurih, sehingga tak heran pelanggannya enggan pindah ke tempat lain dan pesanannya setiap hari selalu bertambah. “Saya hanya menjaga kualitas, bila perlu lebih ditingkatkan lagi,” ujar Sukadana sambil mengadon bahan untuk diolah jadi jaje bendu.

Sukani menceritakan awal mulanya mulai menggeluti usaha produksi jajan tradisional ini. Dia mengaku belajar dari salah seorang tuan rumah tempatnya bekerja. Ibu tuan rumahnya pandai membuat kue, salah satunya belajar mengolah jaje bendu. Ilmu membuat bendu ini, diturunkan padanya dan ternyata berfaedah bagi kelangsungan hidupnya. Berhenti bekerja, dia memberanikan diri untuk membuat jaje bendu itu sebagai lini usaha yang menjanjinya. Upaya mengolah jaje bendu ini, didukung oleh suaminya. Berangkat dari sana, dia mengawali menitip hasil jajan tradisionalnya ke warung-warung.

Lama kelamaan, produksi jaje bendu dikenal banyak orang. Pola menitip ke warung-warung maupun ke pasar, kini dirubahnya. “Awalnya saya coba-coba membuatnya lalu nitip ke warung-warung. Setelah dikenal, akhirnya orang-orang sudah tahu rasa bendu buatan saya, lalu pesan langsung ke rumah. Lantaran sudah banyak yang pesan langsung, kami berhenti menitip di warung-warung. Kalau nitip di warung, terkadang ada sisa. Makanya saya berjualan dengan cara jika ada pesanan saja,”ujarnya sambil mengadon bahan-bahan berupa tepung dan lainnya. Suamipun mengamini alasan mengapa sekarang hanya menerima pesanan saja.

Sukadana mengaku mengawali memproduksi memang cukup lelah, apalagi produksinya memakan waktu cukup lama hingga larut malam. Bahkan sampai kurang tidur. Mulai mengolah bahan-bahan hingga jadi, dilakoninya berdua bersama istrinya. Selain berdua, juga dibantu oleh dua tenaga kerja. “Persiapan produksi hanya dilakukan berdua, saya bersama istri. Selanjutnya dibantu oleh dua orang tenaga,” ujar bapak dua putra ini. Selama menekuni produksi jaje bendu ini, banyak pelangganan sudah cocok dengan rasa bendu buatannya, sehingga mereka tak berpaling ke tempat yang lainnya. Bahkan selama ini pelanggan baru makin bertambah banyak.

Menyinggung soal bahan-bahan yang digunakan, di antaranya tepung ketan, gula merah, parutan kelapa, daun pandan, garam dan vanili. Bila hendak diwarnai dengan warga ungu, dia memilih pewarna alami yakni ubi ungu. Sederhananya, membuat jaje bendu ini diawali dengan membuat kulitnya, dengan tepung ketan yang diberi garam secukupnya lalu dicampur air dan juga dicampur dengan ubi ungu. Supaya mengolahnya jadi lebih lembut, tepung ketan dan ubi ungu itu dicampur dengan air kembang sepatu. Setelah rata dan agak basah, selanjutnya diayak atau disaring. Mengenai isiannya, berupa parutan kelapa dengan gula merah yang sering disebut unti.

“Jika dihitung dari proses pembuatan, penggulungan hingga membungkus membutuhkan waktu satu jam dengan menghasilkan 200 pcs atau buah,” jelasnya. Namun apabila dikerjakan hingga satu hari, itu semua tergantung jumlah pesananya. Bila 600, 1000, 1500 bahkan mencapai 2000 jajan. “Terkadang ada juga memesan hingga 2000 jajan, kalau lebih dari itu, saya rasa tidak dimampu,” terangnya lagi. Pesanan-pesanan itu agak bertambah ketika ada orang punya hajatan atau upacara keagamaan. Tidak hanya lokal Jembrana tetapi sampai di luar kabupaten, seperti Denpasar.  

Sementara salah satu pelanggan, I Made Aris Kusuma Wardana warga Banjar Kelod Desa Penyaringan mengaku jaje bendu buatan Sukani bersama suaminya itu, berbeda dengan bendu yang pernah dirasakannya. “Kalau jaje bendu ini lebih gurih, manisnya pas serta adonannya tidak terlalu keras. Lebih lembut saat digigit,” ujarnya saat ditemui ketika mengambil pesaannya di rumah Sukadana. Dia mengaku sudah lama jadi pelanggannya. Selain rasanya gurih, harganya pun masih tergolong tidak terlalu mahal. “Harganya terjangkau dan kualitasnya terjaga,” ujarnya. (ONO)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here