Berangkat dari Cupel, Keripik Gadung Olahan Masudi Jelajahi Pasar di Jembrana  

0
1243
Masudi saat memasuki tahap menjemur gadung di halaman depan rumahnya. Sumber foto : ono/IJN.

JEMBRANA, IJN – Sekitar hampir tujuh kilometer dari Kota Negara, Desa Cupel yang merupakan salah satu desa pesisir di Kabupaten Jembrana memiliki potensi yang paling besar adalah laut. Tentu saja, mata pencaharian penduduknya rata-rata sebagai nelayan. Namun Masudi (50) warga Banjar Munduk Asem, Desa Cupel, Kecamatan Negara, memilih bukan sebagai nelayan, melainkan tekun mengolah umbi gadung menjadi olahan keripik. Berkat keoptimisannya, produksi keripik gadung, kini dapat merambah kemana-mana hampir seluruh pasar di Kabupaten Jembrana.

Mulanya, ayah tiga anak ini sebagai pembuat batu bata merah. Kerja mencetak batu bata merah ini, dia tekuni karena awalnya memang menjanjikan dan penghasilannya terbilang lumayan. Tetapi selang waktu berjalan, Masudi memilih usaha lainnya dengan beralih ke pembuatan kripik dari gadung. “Dulu saya usaha batu bata dan di lokasi itu banyak sekali ditemui tanaman gadung, lalu saya coba-coba beralih mengolah gadung menjadi keripik,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Banjar Munduk Desa Cupel, Selasa, 3 oktober 2023, siang hari.

Memulai memproduksi keripik gadung dari 1 kilogram. Dalam satu minggu ternyata laris dan digemari masyarakat. Upaya untuk berusaha keripik makin yakin dilakukan. Seiring jalannya waktu, hasilnya makin meningkat dan cukup lumayan bisa mencapai 20 kilogram. Pemasarannya dari Desa Pengambengan hingga meluas ke desa-desa lainnya. Terobosan yang dilakukannya makin gencar, sehingga bisa mengusai pasar di Kota Negara. Mengedarkan hasil keripiknya, dilakukannya sendiri, mulai ke warung-warung hingga ke pasar. Masyarakat pun mulai mengenal dan menggemari hasil produksinya, sehingga dia tambah optimis dan terus meningkatkan volume produksinya. Menurutnya, memulai produksi sekitar empat tahun yang lalu. Makin digemari masyarakat, dia menambah volume produksi hingga 25 kilogram. ”Kalau sekarang alhamdulillah banyak penggemar keripik gadung buatan saya,” ujarnya sambil mengemas keripik gadung yang dibungkus dengan kantung plastik.

Hingga memasuki tahun 2023 ini, volume produksinya sudah mencapai 70 kilogram. Artinya, setiap bulan bahkan minggu permintaan terus bertambah, sehingga harus ditopang dengan jumlah produksi yang makin banyak. “Karena di pasaran cepat habis, ya kita tambah lagi. Sekarang produksi sekali goreng bisa mencapai 70 kilogram,” kata lelaki dengan penampilan sederhana.

Masudi saat menggoreng gadung di rumahnya. Sumber foto: ono/IJN.

Bila memasuki areal rumahnya, sudah tampak terlihat proses tahapan pembuatan keripik gadung yang masih mentah dijemur. Hampir seluruh areal di rumahnya, sudah dijadikan lokasi tempat memproduksi olahannya itu. Mulai mengupas gadung, menaburi dengan abu hasil bakaran kayu hingga tahap pengendapan untuk mengeluarkan cairan. Pada bagian belakang rumah, juga dimanfaatkan sebagai tempat menggoreng hingga pada proses akhir yakni pengemasan.

Masih berkaitan dengan pemasarannya, Masudi juga menceritakan sekarang produksinya sudah meningkat.  Bila sudah menjadi keripik, hitungnya bal-balan dan terhitung setiap produksi mencapai 500 bal. Memproduksi hingga 70 kilogram tersebut membutuhkan bahan mentahnya mencapai 4 kwintal. Masudi pun mengaku memasarkannya dengan sepeda motor keliling hampir seluruh di Kabupaten Jembrana. “Saya belum punya kendaraan mobil, jadi ya menggunakan sepeda motor ini. Mudah-mudahan lancar, sehingga bisa membeli kendaraan,” ujarnya yang berharap memiliki mobil sebagai penunjang pemasarannya.

Memasuki tahap mengemas dan keripik gadung siap di pasarkan. Sumber foto: ono/IJN.

Menyinggung proses pembuatannya, dia tuturkan secara garis besar. Mengawalinya membeli gadung di kebun-kebun yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, bahkan sampai ke Kecamaan Melaya. Gadung yang masih berbentuk seperti umbi itu, dikupas kulitnya. Kemudian diiris menjadi pipih dengan menggunakan alat yang sudah dilengkapinya. Meskipun belum menggunakan mesin pemotong, namun pemotongan itu masih dengan pola manual.  Usai diiris, lalu dibaluri dengan abu. “Untuk mendapatkan abu hasil sisa bakaran kayu, saya beli di tempat orang membuat produksi gula,” tuturnya. Bila sudah selesai ditaburi dan dibaluri, lalu diletakan di sebuah wadah untuk dilakukan pengepresan, yang ditindihkan dengan beberapa batu selama 24 jam. Hal ini gunanya untuk mengeluarkan cairan yang ada dalam kandungan gadung itu. Cairan yang dihasilkan dari umbi gadung ternyata bisa dimanfaatkan untuk menyemprot hama tanaman.

Setelah itu, dilakukan penjemuran di bawah terik matahari dengan memakan waktu sehari dari pagi hingga sore. Sudah dilihat cukup kering, lalu mengikuti tahap berikutnya direndam selama tiga hari, dilanjutkan dengan tahap berikutnya dan terakhir digoreng serta dilanjuti dengan mengemas. Produksi keripik gadung yang diberi nama JIAD ini bila dijual perbungkusnya dengan ukuran kecil hanya Rp 1000. “Selama ini tak ada yang komplin, setelah menikmati keripik gadung saya,” tutupnya sambil tersenyum mengakhiri obrolan siang itu. (ono)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here