InfoJembrana.com | JEMBRANA- Nama sebuah tempat seringkali menyimpan kisah misteri. Kita akan menelusuri kisah di balik nama Kelurahan Pendem. Nama ini mengacu pada masa lampau yang penuh kejadian penting. Mempelajari sejarah adalah melihat masa lalu untuk masa depan. Pemaparan ini berpedoman pada cerita lisan dari para tokoh. Tidak ada bukti berupa prasasti atau bangunan kuno yang tersedia. Kisah ini membawa kita kembali ke pertengahan abad ke-14 yang lalu.
Pertemuan Sang Raja dan Pedanda Sakti
Wilayah selatan Kabupaten Jembrana memiliki sebuah desa. Desa di tepi laut itu dipimpin oleh Raja I Gusti Rangsasa. Raja ini menerapkan peraturan pemerintahannya sangat ketat. Siapa pun yang melewati daerahnya wajib menyembah raja.
Suatu hari, datang seorang Brahmana dari Majapahit ke Bali. Beliau dikenal sebagai Danghyang Nirarta atau Pedanda Sakti Wawurawuh. Beliau dicegat para pengawal raja saat tiba di sana. Mereka memintanya untuk menyembah Raja I Gusti Rangsasa. Danghyang Nirarta menolak untuk menyembah manusia. Beliau berkata ini akan menimbulkan malapetaka bagi kerajaan.
Para pengawal memaksa bahkan mengancam akan membunuh beliau. Mereka berkeras akan menanggung semua resikonya. Danghyang Nirarta akhirnya bersiap untuk melakukan sembah. Keajaiban besar pun terjadi seketika di sana.
Puri Hancur Menjadi Perancak
Puri milik I Gusti Rangsasa tiba-tiba hancur berantakan. Raja menyadari ada tokoh sakti yang telah datang. Raja I Gusti Rangsasa segera lari ke arah utara. Rakyat yang setia mengikutinya menembus hutan belantara. Daerah bekas puri hancur itu disebut Puri Encak. Nama ini kini berubah sebutan menjadi Perancak.
Pelarian raja menuju arah utara melalui rawa-rawa atau Jember. Hutan atau Wana juga dilewati dalam pelarian yang panjang. Daerah ini akhirnya dikenal sebagai Jember Wana. Nama ini lalu berubah menjadi Jembrana seperti sekarang ini.
Asal Mula Nama “Pendem”
I Gusti Rangsasa kemudian mendirikan permukiman baru. Beliau merasa daerah ini sudah cukup aman dari kejaran. Raja I Gusti Rangsasa wafat di tempat tersebut. Tempat wafatnya kini disebut Banjar Sawe Rangsasa. Kata Sawe berarti mayat, yang ada di Kelurahan Dauh Waru.
Mayat sang raja akhirnya dikubur atau “dipendem” di baratnya. Daerah penguburan mayat raja inilah yang menjadi cikal bakal nama. Tempat ini akhirnya disebut Daerah Pendem. Pada tahun 1981, status daerah itu ditingkatkan. Daerah itu resmi menjadi Kelurahan Pendem yang kita kenal. Menelusuri sejarah Kelurahan Pendem adalah seperti membaca silsilah.
Kisah di Balik Lingkungan Dewasana dan Pancardawa
Para pengiring raja banyak yang kesasar dalam pelarian. Mereka terpisah dari rombongan raja dan kemudian tiba di suatu tempat. Rombongan ini membawa Busana Dewa Anak Agung. Mereka pun membuat pemukiman baru di sana. Daerah baru itu kemudian mereka namakan Dewasana. Sebuah Pura didirikan sebagai tempat persembahyangan mereka. Pura Dewasana masih tetap disungsung warga hingga kini.
Di lingkungan Dewasana ada sebuah batu besar yang menarik. Pohon Enau atau Jaka tumbuh subur di sekitar batu itu. Suatu saat, salah satu pohon Enau itu tumbang. Pohon tumbang ini menimpa batu tersebut hingga pecah. Batu itu terbelah dua dan kini disebut Batu Belah.
Dari celah belahan batu keluar air yang sangat jernih. Air itu mengalir ke selatan membentuk sebuah sungai kecil. Sungai kecil tersebut kemudian diberi nama Tukad Titis. Sungai ini mengalir sampai ke daerah Pendem di bawahnya.
Dasar sungai di bagian bawah ternyata banyak parasnya. Paras di dasar sungai menyembul keluar ke permukaan air. Terlihat seperti pulau panjang di tengah aliran sungai. Penduduk menyebutnya pancar, dengan jarak panjang atau dawe. Nama daerah itu kemudian dikenal sebagai Pancardawa. Aliran sungai Tukad Titis terus dimanfaatkan untuk pertanian.
Perubahan Nama Banjar dan Para Pemimpin
Lingkungan paling selatan dihuni oleh pengiring yang sedih. Mereka baru saja menyelesaikan upacara memendem mayat raja. Karena hati yang sedih atau “sebet”, mereka menamakan tempat itu Sebetan. Banjar Sebetan pada tahun 1966 diubah menjadi Banjar Satria. Perubahan nama ini untuk menghilangkan perasaan sedih (sebet). Wilayah selatan ini sempat menjadi Asrama Militer di tahun 1940.
Sejarah Kelurahan Pendem juga mencatat para pemimpinnya. Pan Kanda memimpin pertama kali dari tahun 1914 hingga 1919. I Putu Gde Oka Santhika memimpin sejak tahun 2012 hingga kini. Seluruh kisah ini memperkaya akar budaya kita. Kelurahan Pendem menyimpan warisan berharga dari masa silam. (GA/IJN).
Sumber artikel: https://lurahpendem.wordpress.com/


